bisa jadi kearoganan saya membuahkan suatu hipotesis untuk diri sendiri, tentang bagaimana sebuah pengalaman pahit bekerja pada akhirnya dan bisa membantu saya survive.
belum lama ini, ada kawan saya yang curhat mengenai kesulitan hatinya-- betapa payahnya tinggal di negara asing dan ter-excluded dari kehidupan komunitas yang dikenalnya dengan akrab di indonesia. dan perasaan itu membuatnya gila.
ada yang bilang kalau hidup itu 90 persennya terjadi berdasarkan cara bereaksi terhadap hal luar yang beraksi pada diri kita, dimana penggunaan 90 persen seoptimalnya bergantung pada kekuatan bertahan hidup. well, untuk sementara ini mari pakai teori itu. saya percaya bahwa keoptimalan itu bisa diraih jika kita mampu berkompromi terhadap 10 persen yang terjadi diluar sana, dan 90 sisanya adalah jatah menjadi proaktif--bukan reaktif.
tidak semua yang 10 persen itu bisa berjalan sesuai kehendak kita. jadi, ga usah lah terlalu pusing menghabiskan energi mengatur seluruh alam semesta berjalan berdasar kuasa kita (yang dimana adalah nonsense) yang bisa --kaya yang terjadi sama kawan saya-- bikin gila, histeris, diluar akal sehat, bla bla bla, you name it.
hal hal diluar kendali itu bisa diatasi kok, dengan pola pikir. saya bisa bicara ini, karena tau apa bedanya antara tetap berpikir jernih dan menjadi destruktif.
bicara tentang contoh kasus lain, lagi heboh berita tentang pemuda Indonesia yang berkuliah di singapura, setelah menusuk dosen pembimbing tugas akhirnya, dia bunuh diri loncat dari lantai 4 gedung kampusnya. beralasankah hanya karena stres TA dan terputusnya beasiswa, mahasiswa tersebut menusuk dosennya lalu bunuh diri? selain berusaha simpati, akal sehat kita pasti akan menilai itu sebagai tindakan tanpa pikir panjang. saya akan meng-extendnya: bahkan bisa jadi dia tidak berpikir sama sekali. diluar fakta bahwa si mahasiswa ini dilimpahi dengan segudang prestasi tingkat dunia (kalo ga salah, dia ini juara olimpiade matematika kelas internasional) dan kecerdasan maha sempurna, tapi siapa sangka kalo mentalnya kalah? indikasi bahwa dia tidak mampu berkompromi dengan 10 persen yang bereaksi terhadap dirinya dan menyia-nyiakan 90 persen porsi dia untuk proaktif terhadap masalah. buat saya, cerdas intelektual itu ga sama dengan cerdas emosional, dua hal ini butuh balance. integrasi inilah yang bisa mempengaruhi pola pikir.
buat saya, pengalaman pahit itu meskipun menggerus-gerus sampe tulang sumsum tapi rasanya tetap menjadi guru yang bijak. misalkan saja, pengalaman pahit patah hati (duh, mentang-mentang sering patah hati) sakit hatinya terjadi pada saat itu saja sebetulnya, dan yang terjadi setelahnya adalah penolakan alam bawah sadar kita menerima kenyataan, makanya sedihnya jadi berlarut-larut, jadi depresi, jadi menangis berhari hari. tapi setelah bercermin lagi, tanya deh apa yang didapat dari peristiwa itu. kalau saya bertanya dan bercermin dalam hati, dia akan berkata: to forgive. dari kemampuan ikhlas memaafkan itu apakah yang tersisa tetap sakit hati? tidak. tapi value. nilai-nilai tentang memaafkan atau bahkan melupakan. nilai itulah yang kemudian berakar pada pola pikir.
dalam kasus kawan saya ini, saya ga berhak menggurui dia. mengata-ngatai dia tentang apa yang harusnya dia lakukan. cuma berdoa, semoga dia menjadi kuat dengan apa yang tidak mampu membunuhnya, tidak lantas gila atau loncat dari gedung asrama.