Lain padang lain ilalang…hmmm (itu hubungannya apa ya? Saya lupa, hahaha. Ah sudah lupakan)
Dikenal dengan bakat musikalitas sedari kecil dan serangkaian karya yang kemudian menjadikannya sebagai entertainer terwahid sedunia dan dikultuskan sebagai “raja pop”, Michael Jackson pun dikenal akan keegnimatisan figurnya. Then his life was cut shockingly — and so far, mysteriously — short.
I’m not gonna write about his tremendously talents or about his astounding performances, indeed about his figure as an icon on how human being can be so deceitful if he’s missing one stage on his life—childhood. Mungkin ada yang masih mengingat bagaimana dia menceritakan masa kecilnya sambil berujar dan menutup wajah menahan airmata di acara oprah (entah apakah kisah ini seratus persen otentik, tapi intinya bukanlah sebuah fallacy). Diluar dari segala pemberitaan skandal menyangkut dirinya, saya jauh lebih tertarik terhadap keterkaitan akan masa lalunya dengan masa “dewasa”nya yang termanifestasikan melalui segala tingkah dan perilakunya yang eksentrik.
Dia mengisahkan tentang bagaimana ayahnya menyiksa dan menghinanya secara mental dan fisik di usia dininya, sementara itu dia masih harus terus tampil di publik menjadi komoditi dari pasar musik.
Dia mengisahkan tentang kerinduannya akan taman bermain karena pada masa kecilnya, dia tidak punya kesempatan bermain dengan anak seusianya. Mungkin karena itulah, Neverland didirikan. Michael Jackson dengan romansa masa kecil yang dilaluinya dengan tidak proper, melampiaskan hasratnya akan dorongan bermain dan menganggap dirinya sebagai peter pan (dia mengasosiasikan peter pan sebagai anak kecil yang tidak pernah dewasa, ada kaitannya dengan berita upaya Michael Jackson memperlambat penuan dengan cara tidur didalam hyperbaric oxygen chamber)
Ketika dia menikmati kebersamaannya bermain dengan anak kecil dan menganggap hal itu sebagai suatu yang “indah” dan wajar, sementara publik akan berkata sebaliknya dan menyerangnya dengan tuduhan phedofil dan sexual disorder. Terasa bahwa jiwa masa kecilnya masih terperangkap dalam kehidupan “dewasa”nya. Seperti yang dikemukakan oleh Friedrich Frobel , kira-kira seperti ini kalau saya tidak salah; “play is the purest, the most spiritual, product of a man at this stage, and is at once the prefiguration and imitation of the total human life, of the inner, secret, natural life in man and in all things. It produces, therefore, joy, freedom, satisfication, repose within and without, peace with the world. The spring of all good rest within it and go out from it”. Begitulah kurang lebih pentingnya pemenuhan diri akan hasrat bermain.
“all human have the same needs” kata Le cobuzier. Dan kebutuhan untuk mendapatkan kesempatan menjalani masa kecil yang sesuai itidak pernah didapatkan oleh sang “king of pop”. Malah sebaliknya, perlakuan abusive yang dilakukan ayahnya terekam di memori yang kemudian menghadirkan traumatis psikis. Saat itu mungkin tiada yang pernah menyangka, bahwa manifestasi dari tindakan-tindakan itu akan membuat dampak jangka panjang—cacat emosional.
Menurut psikonalisis Sigmund freud, pada usia dini, seorang anak akan mengingat substansi dari suatu pristiwa dan kemudian akan memasuki pikiran bawah sadarnya hingga seorang anak itu tumbuh dewasa. Subsistem dalam kepribadian itu dikenal sebagai Id atau biasa disebut sebagai animal instinct. Id bergerak dalam prinsip kesenangan semata dan pemenuhan hawa nafsu. Namanya alam bawah sadar, pastilah itu sesuatu yang mengakar. Bisa jadi, Michael Jackson sudah memasuki tahapan “dikendalikan Id” dengan takaran overdose (belum lagi hantaman dari media yang seringkali menyudutkan karakteristiknya sebagai seorang individu).Sekalipun dia menjalani terapi kejiwaan, tetapi ketergantungannya terhadap painkillers juga ga main-main.
Selalu dan selalu yang menjadi considerasi saya adalah—masa kecil itu bukan sesuatu yang sepele. Dari pada saat itulah, manusia diberikan pemahaman tentang dirinya adalah manusia dari manusia lain (hubungan anak dan orangtua). Menumbuhkan self esteem (dengan kasih sayang) pada anak melalui pendidikan keluarga adalah hal yang esensial. Mendampingi mereka melalui masa kanak-kanak secara wajar dan semestinya juga adalah bagian dalam pembelajaran dan penghayatan human becoming. jangan pandang masa kecil dengan sebelah mata hanya karena akan ada masa dewasa setelahnya. Karena apa yang tidak akan didapatkan pada masanya, akan menimbulkan manifestasi tak disangka-sangka pada bukan masanya.
sekali lagi, saya bukanlah penggemarnya (saya ga terbiasa dengan ngefans-attitude juga sih) tapi menikmati moonwalkernya sekali waktu dan lagi ketagihan dengerin billie jean saat media menyatakan bahwa dia telah meninggal dunia. what a coincidence...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar