ibu saya pernah berseru begini, pada saat awal perjumpaannya dengan partner;
" jangan kamu menyakiti anak saya, saya sudah menyiapkan samurai"
lalu, partner saya menanggapi begini;
"tenang tante, saya akan membantu mengasahnya"
LOL
setelah deal terselubung itu (terselubung karena saya baru mengetahui ada percakapan macam itu setelah saya berada disini) mereka akur-akur saja hingga detik ini. tidak ada samurai yang terasah sebelum dihunuskan. hahahahahahaha. buat saya, hubungan baik diantara mereka itu sangat bernilai. keduanya merupakan orang yang berarti. ibu saya--wanita dalam hidup saya. sedangkan partner saya adalah laki-laki dalam hidup saya.
saya dapat bernafas lega dan melangkah ringan ketika ibu saya tidak mendeklarasikan lampu merah--tandanya saya harus menyerah. berpengaruh sekali ya? iya, begitulah. mungkin terkesan bahwa kehidupan percintaan saya dikendarai oleh feeling seorang ibu, terkesan bahwa saya akan mudah melepaskan seseorang dalam hati saya tatkala ibu saya berkata "tidak". saya ini, meskipun luarannya dibungkus dengan perangai pemberontak, nyeleneh, suka melanggar aturan and you name it, tapi tetap saja dalam hati, saya tidak bisa mendebat feeling beliau. karena, ibu saya adalah seorang maestro dalam kehidupannya.
dan saya tumbuh bersama kesaksian, bagaimana dia terlempar kedunia luar untuk berjuang menghadapi dirinya sendiri yang manja dan kelaparan rasa perlindungan. saya tumbuh, melihat terseok-seoknya perasaan dia yang terluka akibat laki-laki, sementara harus tetap bisa menghidupi saya seorang diri. saya tumbuh, mengingat rumitnya dia berganti peran dari ibu rumah tangga menjadi seorang nakhoda kapal karam. tetapi dalam bisik setiap doanya, dia selalu berkata "ini keliru, nak". saya tumbuh, bersamaan dengan terkuaknya penyesalan-penyesalan dari rasa dosa telah mengenyahkan tawaran dari surga. saya tumbuh, dengan kemandiriannya yang mematang, yang juga sekaligus telah menjadikan saya --menurut beliau-- matang keduluan.
karenanya, nilai-nilai yang "tanpa sadar" telah tertanamkan dalam hati jiwa dan pikiran saya, bercermin dari pengalaman beliau.
beberapa kali saya mencoba untuk tidak menggubris larangan beliau. dulu, mikirnya begini;
"apasih, yang punya perasaan juga saya kok. yang menjalani pacaran juga saya. mamah tuh gatau apa-apa deh."
ternyata salah,
ibu saya, dapat mengetahui apa yang saya rasa tidak akan beliau ketahui. dan setelah saya kena batunya, saya cuma meringis; "mamah betul, mereka semua itu brengsek"
mungkin memang benar, semestinya saya memperjuangkan apa yang jadi keinginan saya dengan atau tanpa restu beliau. mungkin memang benar bagi orang lain. tapi pada akhirnya, saya selalu tidak bisa--itu tidak benar untuk saya!
mungkin memang benar, ibu saya itu berbeda dengan saya. dan jika dia "membuat" saya untuk selalu mengikuti keinginanya, itu tandanya pembunuhan karakter. mungkin memang benar bagi orang lain. tapi pada akhirnya, hati saya selalu bergerak kearah dimana saya dapat melihat dia tersenyum bahagia dan ikut merasakan kebahagiaan saya dengan tulus (dan saya tetap menjadi pribadi yang hanya milik saya). itu semua, hanya diawali dengan ucapan;
"ya, mamah merestui."
ini tidak dapat dipahami setengah hati. harus menjadi saya dulu baru dapat mengerti seutuhnya--atau mungkin tidak. toh sayapun gak tega kalau ada orang yang mau menjadi diri saya--
jadi begitu, silakan saja dengan pandangan "berjuang tanpa restu orang tua". itu mereka, sungguh. kalau saya sih, berusaha mencari apa yang akan menenangkan hati saya dan membawa rasa damai. perasaan damai saya datang tatkala saya dapat berbagi kebahagiaan. dan yang saya percaya adalah bahwa orang tua harusnya mendukung anak menemukan hidupnya sendiri, dan bukannya mengarahkan hidup anak untuk menjadi pelengkap kebahagiaan orang tua. lalu saya ini, merasa bangga sekaligus bersyukur karena jalan hidup yang saya pilih sendiri, merupakan sesuatu yang diamini oleh orang penting buat saya--ibu.