Setiap orang dalam relung hatinya yang terdalam pasti pernah mengalami berbagai pergulatan-- mengenai aspirasinya, hidup cintanya, keluarga, cita-cita hari ini mau makan apa, pake duit siapa, hohoho—pergulatan pribadi dapat dengan mudah membuat orang memusatkan perhatian pada emosi-emosinya, harapan dan kekecewaan. Meski pada akhirnya dapat memutuskan sesuatu, biasanya keputusan itu muncul dari keyakinan hati secara pribadi dan dipersepsikan sebagai kebenaran ‘yang dirasa benar’ pada saat itu. Maka diri orang tersebut memainkan peranan penting dalam penalaran pengambilan suatu keputusan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
Hanya saja, adakah seseorang yang mampu menilai dirinya secara tepat dan bulat? Untuk mengambil keputusan berdasarkan diri sendiri. Karena pengetahuan mengenai sifat diri itu tidak hanya berasal dari satu kepala. Yang diketahui dan yang mengetahui itu saling mengembangkan, dengan demikian tidak ada jawaban yang bersifat final.
Misalnya, seperti pengetahuan saya mengenai sahabat saya hari ini akan diperbaharui dan dilengkapi oleh pengetahuan saya mengenainya diwaktu-waktu yang mendatang yang dicapai melalui proses yang terus-menerus terjadi.
Bisa saja apa yang saya ketahui nanti mengenai dirinya adalah sesuatu yang tidak saya kira-kira saaat ini.
Atau, Bisa saja apa yang saya pahami mengenai diri saya sekarang ini adalah sesuatu yang tidak dapat dipahami lagi oleh saya nanti.
Lalu pada saat kapan dan bagaimana seseorang mencapai “pengetahuan absolut” mengenai dirinya? Manusia selalu mendambakan keabadian—padahal Sang Maha Absolut hanyalah Tuhan—dan ini merupakan tragedi sebab perubahan lewat waktu adalah sisi pahit yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Cinta seseorang yang kita harapkan abadi, dapat berubah karena waktu dan dalam waktu. Dambaan akan keabadian justru membuat manusia sengsara. Kita akan melulu dilingkupi oleh kekhawatiran kehilangan sesuatu.
Jadi waktu saya merasakan indahnya jatuh cinta, seharusnya saya tahu bahwa saya akan merasakan sakitnya putus cinta juga—tahu begitu saya ga usah susah payah kesenengan setengah mati gara-gara dicintai seseorang (terlihat seperti) yang tidak semestinya. Hahahahaha
Seandainya,
Seandainya manusia hanya kambing, tanpa keinginan akan keabadian atau trandensi, barangkali hidup akan jauh lebih mudah. Kita akan hidup dalam waktu—dengan dimensi masa lalu, masa kini, dan masa depan—tapi kita tak sadar mrngenai diri kita sebagai temporal beings. Tapi kita bukan kambing—yang tidak memiliki kesadaran diri kecuali merumput,kawin dan beranak—oleh karena itu kita menyadari bahwa pada titik tertentu waktu akan berhenti bagi kita.
Hidup dalam waktu berarti mengalami keterbatasan mengenai apa yang dapat kita lakukan sebagai manusia. Pernah rasanya waktu berjalan begitu lambat dan saya berharap sehari menciut Cuma jadi beberapa jam saja, pernah pula waktu berlari tergesa dan saya mendambakan 48 jam itu terangkum dalam satu hari.
Intinya adalah, sekali kita mengambil suatu pilihan, pada saat yang sama kita meyingkirkan pilihan-pilihan lain. Manusia yang sadar mengenai dirinya berarti ia memahami keterbatasan ini.
Jadi, sesuatunya harus bertolak dari KESADARAN MENGENAI DIRI
Oke, dan pemahaman mengenai diri sendiripun selalu berubah—jadi memang ga ada yang otentik didunia ini. Manusia harus pandai beradaptasi bahkan dengan dirinya sendiri.
Dalam situasi nyata, kita mendapati diri kita sebagai makhluk yang terbatas tetapi disaat yang sama juga dituntut untuk memaknai hidup yang tidak sekedar bersifat sementara, melainkan yang bersifat abadi dan tak terbatas bagi EKSISTENSI kita.
Between God and human beings however there exists an absolute difference an hence this direct equality is a presumptuous and dizzy thought.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar