Postingan penutup, dibuat di bandung sesaat setelah bertemu muka dengan si ‘penjahat’ yang gak menganggap saya. bener2 penuh instropeksi, lebih tenang dan objektif dari postingan2 terdahulu. Lebih jujur terhadap sebab akibat dengan gaya bahasa ga “seajaib” sebelumnya. Auranya melembut (tapi ttp aja, diam2 menghanyutkan) dan berusaha mensastra, hahahaha.
Teman baik saya sekarang sempet nangis baca ini. Saya? Air mata saya waktu itu udah mengering.
Brokenhearted-stanger in me
Seringkali aku merasa seperti anak anjing yang penuh semangat, terengah-engah merindukan tepukan orang lain. Emosi adalah sesuatu yang kuberikan dengan terlalu mudahnya. Aku memerlukan pengakuan orang lain sedemikian kuatnya sehingga setiap pertemuan, walaupun begitu cepat dan tidak teratur, terasa bagaikan sebuah pertunjukkan. Usaha ini sungguh melelahkan, tapi akhir-akhir ini telah membuatku sadar betapa berantakannya perasaanku ini. Hal ini terlihat seakan-akan aku sedang membagikan bagian tubuhku, sedikit demi sedikit, yang tak akan bisa kuambil kembali. Aku menjadi setumpukan bagian tubuhku yang tercerai berai didalam sakuku, terjebak dalam obsesi untuk selalu menyenangkan semua orang, tapi ini sebenarnya adalah sebuah penyakit, aku butuh sambutan.
Mendambakan seseorang datang.
Lalu aku mengetahui kamu menginginkanku, tidak butuh lama untuk menangkap sinyal itu. Aku hanya mengetahuinya bahwa itu kamu. Dan berharap akan selalu kamu.
Tapi aku tak paham, apa yang telah kuperbuat padamu. Apakah aku telah mencintaimu terlalu dini sehingga ada sesuatu dalam dirimu datang mengelabuhi instuisi? Dalam cinta-- tak tahukah bahwa dirimu telah membuat dentuman granat begitu hebatnya sehingga tiada lagi yang dapat kusisakan dalam diriku kecuali butir serpihan. Aku ingin pulih dari serangkaian pertanyaan yang bahkan tak kumengerti harus memulai menjawabnya dengan alasan bagaimana. Aku masih membutuhkan akhir dari kalimat itu. Ya, kita tamat. Aku bahkan masih mampu menangkap sosokmu melalui sudut mata, dan menyakitkan karena kamu tak menyadari aku disana, terkurung dalam pelupuk matamu yang dulu selalu melihatku berkali-kali. Patah hatiku karenamu tidak berlangsung serentak. Ada lonjakan berulang-ulang dan menyedihkan. Berharap perasaanku padamu merupakan kekeliruan atau reaksi emosional yang tergesa-gesa, mungkin dengan demikian aku dapat mengira bahwa diri ini sedang memanipulasi rasa sakit. Tapi tidak demikian adanya.
Aku memaafkanmu, sungguh. Meski bagiku berat mengakui bahwa aku hanyalah bagian dari pertemuan singkat dan tak layak untuk diingat. Tapi lukanya tidak berakhir sampai dengan malam terakhir aku menangis karenamu. Mengingat bahwa kamu mengetahui semua kepayahan yang kumuntahkan pada hari aku berlindung padamu, ketakutan dan lumpuh oleh amarah membuatku merasa sudah mengkhianati diri sendiri.
Masih bertanya hingga sekarang, apa yang telah aku perbuat? Memintamu untuk menjadi seseorang yang lainpun aku tak pernah, tak pernah mengabaikanmu sekalipun, tak pernah menolak kritik-kritikmu dan selalu mencoba tersenyum memahami perangaimu yang kadang mengingatkanku pada seorang manusia yang pernah memporak porandakan impian masa kecil. Karena aku mencoba untuk mencintaimu dengan menerima apa adanya dirimu, suatu pelajaran yang kuperoleh dari hubungan sebelumnya yang kukira akan berhasil pada hubungan kita.
Jelas terbayang malam kita berpegangan tangan untuk terakhir kalinya sebelum kamu menghilang, setelah kamu bertanya padaku mengapa aku tampak murung. Kamu bilang aku harus kuat. Apakah karena kamu telah menerka bahwa aku akan dicampakkan olehmu dalam keadaan rapuh dan sendiri? Lalu kamu memintaku kuat agar mau tak mau aku harus dapat menopang kegetiran dari awal tanpa kamu perlu ada dan ikut bertanggung jawab karenanya?
Kenapa kamu begitu picik?
Apa yang kamu pikirkan tentangku?
Manakah dari bagian-bagian itu yang hanya pura-pura?
Cintaku padamu dulu ternyata kesia-siaan belaka, kadang kepekaan ini menyulitkan diri sendiri. Apa yang kukira telah usai—lukanya memang mereda namun ingatan menguat makin lama. Lubang besar itu kian menganga, penuh dan dalam. Menjeratmu lagi dengan apa, setelah semua cara biasa menjadi tak berdaya.
Ajari aku memaknai perkataan “aku lupa”
” aku lupa pernah mencintaimu ”
” aku lupa pernah bersamamu ”
” aku lupa rasanya terluka karenamu”
Begitukah semestinya? Apakah dengan kehilangan ingatan tentang dirimu akan membantuku mengatasi surutnya rasa percaya diri? Apakah harus selalu ada jawaban yang berlogika?
Yang harus kupahami mulai dari kini adalah—ketidaktahuan dan keterbatasanku mungkin akan mempertemukanku dengan seseorang yang lain, yang mencintaiku dan menjaga perasaan itu sampai dengan waktunya.
Baiklah, aku akan menunggu hingga saatnya nanti ditemukan lagi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar