Senin, 06 Agustus 2007

pura pura juri

Mengingat hari jumat kemaren, saat saya diberi kesempatan untuk menjadi juri lomba menggambar anak sd dalam rangka hari keluarga nasional di balai kota-- ada beberapa hal yang membuat saya duduk lebih lama untuk merenungkan sesuatu yang nyaris tidak saya kehendaki.
Apakah yang sebenarnya sedang mereka lakukan?
Anak anak itu? Para orang tua? Para guru?
Dan saya menanyakan pertanyaan yang sama pada diri sendiri—apakah yang sedang saya lakukan disini?— setelah kemarin meyadari bahwa akan ada ideaslisme yang mesti saya larutkan semata-mata karena mengikuti arus, dan rasanya menyebalkan karena gagasan- gagasan harus dibenturkan pada masalah standardisasi yang “sudah dari sononya” . menjadi juri yang berarti ‘semua keputusan penilaian berada ditangan’ tapi bagaimana mungkin jika sejak semula tangan pemberi keputusan sudah ditandai oleh batasan yang sudah ditentukan—lalu dimana teritori saya?
Pada akhirnya saya merasa seperti pajangan, simbol intelektualitas.
Lalu kompetisi ini sendiri membawa saya pada suatu kisah lama, pada saat masih seusia para peserta ini, saya pernah melewati semacam uji kapabilitas menjadi pelajar yang selau patuh terhadap pengajar dengan mengabaikan hal-hal yang saya kira penting seperti daya kreasi. Dulu gambar yang dianggap bagus adalah gambar yang benar—gambar yang benar adalah gambar yang terlihat seperti sebagai mana mestinya. Guru kesenian sd saya berkata sembari mengintruksi pada seluruh kelas bahwa “warna daun harus hijau”,”garis harus lurus”,”matahari berada ditengah, sementara gunung harus selalu berjumlah dua” (ingatkah pada gambar suasana “pemandangan gunung dan matahari terbit dengan hamparan sawah hijau”?) dipikir2, ada apa dengan warna daun meranggas? Sehingga warnanya menjadi coklat keemasan? ada apa dengan garis jalan yang berkelok? Sehingga untuk me’lurus’kannya dianjurkan memakai penggaris yang ternyata memasifkan motorik anak yg semestinya masih luwes, dan kenapa matahari berada ditengah gunung padahal matahari terbit dari timur?. Akan memahami apabila satu tambah satu adalah dua tapi ketika diminta gambarkan suasana hati lalu mendapat perintah yang sama akan apa yang harus digambarkan rasanya kok lucu, kenapa imajinasi dipaksakan untuk diseragamkan, dikolektifkan? Ada apa dengan menjadi berbeda?
Ketika menjadi berbeda akan terlihat tidak biasa dan bukan berati tidak benar. Reaksi yang asing akan selalu ada pada hal yang tidak lazim. Duh, seharusnya saya bisa lebih persuasif dalam menentukan kriteria penilaian terhadap panitia lomba. Jadinya gak gregetan sendiri. Belum apa-apa sudah dibatasi tema. Kompetisi macam ini kadang mematikan dorongan bermain anak, mereka mungkin takut takut—takut salah, takut kalah, takut dimarahi orang tua—ini seperti citra yang salah, jadi ingat reward and punishment. lalu bagaimana dengan penilaian nantinya? Hmm...
Saya ingin sedikit melonggarkan keekslusifan juri, bagaimana jika mengajak seluruh peserta menilai karyanya sendiri? Lalu berakhir tanpa juara,semua mendapat piagam.
Hahahahaha
Apa jadinya para orang tua yg ingin anaknya menang ya? Ya tuhan,bahkan mereka masih kelas 3 sd.saya gak ragu mengatakan bahwa ini lebih seperti kompetisi untuk para orang tua yang sedang mengumpulkan piala-piala atas nama pengalaman anaknya. tidak salah, namun sungguh suatu kondisi yang dipaksakan.

Tidak ada komentar: